Medan merupakan
salah satu kota terbesar yang ada di Indonesia. Sudah sangat banyak yang
terkenal dari kota Medan, mulai dari tempat wisatanya sampai terkenal dengan
kulinernya. Selain itu, Medan selalu identik dengan orang batak. Padahal di
kota Medan ini bukan hanya ada suku batak, melainkan terdapat suku-suku
lainnya, sebagai contoh, di tempat nenek saya tinggal merupakan tempat yang
mayoritas penduduknya berasal dari Tiongkok dan India. Kebetulan, saya
merupakan keturunan Tiongkok (kata cina tak lagi diperbolehkan oleh pemerintah
karena lebih mengarah kepada rasis) atau saya memang lebih suka disebut sebagai
cina walau dua kata tersebut sama saja.
Petualangan atau
saya lebih suka bilang ini sebagai pulang kampung dimulai pada 19 november
2014. Saat itu saya tidak sendiri, karena saya pergi dengan papa saya yang mana
papa saya lah yang berasal dari Medan. Tiket sudah kami pegang jauh-jauh hari,
apalagi kalau bukan demi tiket murah yang sebenarnya gak murah-murah juga tapi
cukup lumayan murah (maunya apasih Wil...). Waktu itu kami memilih maskapai
Citilink karena melalui pertimbangan kalau pilih maskapai sebelah yang punya
warna merah dan simbol hewan itu takut kena delay hehehe.... (alasan pribadi
sih itu sebenarnya).
Jadwal pesawat kami pukul 5.55 WIB, tapi berhubung keluarga saya ini adalah salah satu keluarga yang takut telat (padahal saya anaknya santai dan lebih suka berangkat mepet waktu), akhirnya kami pergi jam setengah tiga pagi. Iya, setengah tiga pagi. Gak ngerti deh kenapa mesti sepagi itu, kalau mau dibilang takut kena macet ya gak mungkin juga. Ya kali macet jam tiga pagi, itu sih udah amazing banget. Tapi apa daya, berangkatlah jam segitu dan alhasil sampai bandara cuma setengah jam dari rumah. Jam tiga pagi sudah di Bandara dan flight jam enam pagi. What the hell am I going to do gitu loh? Ya akhirnya cuma duduk-duduk manis di ruang tunggu dan jalan mondar-mandir sampai boarding.
Di pesawat
kebetulan kedapatan duduk di kursi paling belakang, dan selama penerbangan cuma
bisa lihat-lihat pemandangan di bawah dan komat-kamit tiap kali pesawat masuk
awan. Gimana gak komat-kamit, I am the
kind of person who afraids of higness gitu loh, jadi wajar kan. Akhirnya setelah
dua jam di angkasa, mendarat di Bandara Kualanamu, Medan. Yang saya rasakan
pertama kali melihat bandara ini adalah bagus bandaranya tapi kok ya kayanya
panas banget ya kota Medan ini.
Di Bandara, kami
dijemput saudara kami dan langsung naik Damri yang waktu itu jurusannya ke
Simpang Limun. Tarifnya Cuma 15ribu per-orang. Damri yang saya tumpangi ini Cuma
minibus, bukan bus besar yang dipakai di Jakarta. Setelah sampai di Simpang
Limun, kami lanjut naik becak motor atau bentor. Karena tidak begitu jauh tujuannya,kami
hanya bayar 10ribu saja tapi nyawa seperti digadaikan karena cara berkendaranya
yang luar biasa bikin deg-degannya.
Rumah nenek saya
di belakang Istana Maimun, jadi sesampainya di rumah nenek saya, saya langsung
kabur ke Istana Maimun. Tiket masuknya hanya 5ribu, dan di dalamnya kalian bisa
berkeliling melihat-lihat peninggalan
kesultanan deli ini, bahkan kalian bisa mencoba memakai pakaian tradisionalnya.
Di sini juga terdapat sejumlah orang-orang yang memainkan musik tradisional. Selain
itu, di sini juga terdapat sebuah meriam yang terkenal, meriam puntung yang
menurut hikayat merupakan penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Deli
Tua yang bernama Mambang Khayali yang berubah menjadi meriam dalam
mempertahankan istana dari serbuan Raja Aceh yang ditolak pinangannya oleh
Putri Hijau.
Dari Istana
Maimun, saya melanjutkan jalan kaki saya ke Masjid Raya Medan, tapi sayangnya
saya tidak bisa masuk karena untuk masuk kita harus berpakaian muslim dan saat
itu saya sedang menggunakan kaos dan celana pendek selutut, jadi saya
mengurungkan niat saya untuk masuk. Sehabis itu saya berjalan mengelilingi jalanan
kota Medan dan akhirnya kembali ke rumah nenek saya. Saat di Medan, saya tidak
tinggal serumah dengan papa saya dan saya memlih untuk tinggal di rumah tante
saya yang tidak jauh dari rumah nenek saya, tepatnya di Kampung Baru. Dan di
sanalah kenyamanan di kota ini dimulai.
Sesampainya di
rumah tante saya, saya bertemu dengan sepupu saya yang sudah lama sekali tidak
bertemu, karena kami terakhir kali bertemu saat saya masih bersekolah di
sekolah dasar. Hampir 10 tahun kami tak bertemu dan kini dia sudah mempunyai
anak dan lebih menyenangkannya lagi, saya dan sepupu kecil saya ini langsung
akrab dan bermain bersama. Saya dan papa saya langsung pergi lagi ke tempat
tante saya berjualan, dan tak jauh dari tempat tante saya berjualan, terdapat
sekolah yang di depan gerbangnya banyak sekali penjual makanan dan saya pun
langsung menghampirinya. Saya memilih bakso bakar khas Aceh dan abang
penjualnya pun asli orang Aceh, ketika saya coba, ternyata rasanya enak sekali
dan yang lebih penting lagi, ini murah. Saya pun membeli lagi dan kali ini
mencoba membangun percakapan.
“Asli Aceh ya
Bang?”
“Iya”
“Baksonya mangat that, Bang!”
“Wah mangat that!. bisa bahasa aceh?”
“Bacut-bacut, Bang hehehe teurimong gunaseh beh Bang!”
Sebenarnya sih cuma
iseng aja ngajak ngomong pakai bahasa aceh hahaha....
Keesokan
harinya, saya diajak pergi jalan-jalan di kota Medan, dan kami mengunjungi
Masjid Agung Sumatera Utara dan sehabis itu kami melipir ke SUN Plaza, salah
satu mall yang cukup kecelah di Medan ini.
Di hari lainnya,
saya mengunjungi Tjong A Fie Mansion, tiket masuknya sebesar 35ribu, saya masuk
sendirian waktu itu dan ketika ditawari guide saya menolaknyam karena saya
lebih suka berjalan sendiri. Ternyata berjalan sendiri di dalam tempat ini
cukup bikin nyali saya ciut, selain karena sepi, di dalam ini juga cukup horror menurut saya, wewangiannya bikin
saya gak nyaman dan akhirnya cepat-cepat keluar deh hehehe...
Keesokan harinya
lagi saya berkunjung ke sebuah Vihara di komplek Cemara, namanya Vihara Meitraya,
sekaligus mengantarkan papa saya beribadah. Di dalam vihara ini sungguh peaceful dan bikin kepengin berlama-lama
di sini. Vihara ini boleh dikunjungi oleh siapa saja, dan sering jadi tempat
rekreasi juga. Di luar Vihara saya mencoba es grim khas Medan, dimana es grim
ini memakai roti dan diisi es grim rasa cokelat, alpukat dan jagung, harganya
10ribu saja. Kalau ke Medan jangan lupa mencoba mie soup, konon ini cuma ada di
Medan dan rasanya enak sekali.
Beberapa hari
setelahnya, saya diajak kuku (tante
dalam bahasa mandarin) untuk berjalan-jalan ke Berastagi. Di tengah perjalanan,
kami mengunjungi rumah Om saya yang punya kebun durian tetapi sayangnya kami
datang di saat yang tidak tepat karena pohon duriannya sedang tidak berbuah. Akhirnya
kami melanjutkan perjalananke Berastagi. Kurang lebih tiga jam kami melakukan
perjalanan melalui jalan yang berkelok-kelok dan sampailah kami di Berastagi,
dan kami segera ke Bukit Gundaling, dimana dari Bukit ini, kami bisa memandang
langsung Gunung Sinabung yang sedang bergejolak dan tentunya memandang kota
Berastagi dari ketinggian.
Dari Bukit
Gundaling, kami mengunjungi Taman Alam Lumbini, di sini terdapat sebuah vihara
yang berwarna emas yang terlihat sangat megah dan di sampingnya terdapat taman
alam yang sangat indah dan asri. Masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya
apapun dan tidak boleh merokok di tempat ini. Setelah dari sini, kami
berbelanja buah di Pasar Berastagi. Yang membuat saya nyaman di Berastagi
adalah udaranya yang sejuk.
10 hari di Medan
sangat tidak cukup bagi saya, mungkin karena saya telah nyaman di kampung
halamanku ini dan enggan pulang lagi ke Ibukota. Saya juga telah mengenal
kawan-kawan baru dan sudah beradaptasi dengan lingkungan selama aku bertempat
tinggal. Satu yang menurutku unik, karena walau sudah tengah malam, masih saja
ada orang yang mengobrol dengan hampir berteriak, mungkin itu notasi bicara orang
Medan ya hahaha... Dan semenjak di sana, saya pun berbicara dalam logat khas
melayu.
Sehari sebelum
kepulangan saya, saya diajak membeli oleh-oleh dengan saudara saya yang
lainnya, namun sampai malam ia tak kunjung datang, dan tante saya sekeluarga
berencana akan keluar makan malam bersama, namun tiba-tiba ia datang dan
menghancurkan rencana kami, dan mau tidak mau saya harus ikut membeli oleh-oleh
dengannya. Dan kami hanya pergi sebentar dan saya sedikit sedih karena
sebenarnya saya lebih memilih untuk pergi makan malam bersama keluarga tante
saya di mana saya menginap. Setelah itu, saya menghabiskan malam terakhir
dengan berkumpul dengan kawan saya di Medan sampai larut di tengah udara yang
sangat dingin dan berangin.
Hari kepulangan
saya pun tiba, hari yang saya tak ingini adanya karena saya masih ingin berada di
sini. Waktu perpisahan, setengah mati saya menahan tangis meski akhirnya tak
lagi bisa saya bendung ketika di jalan menuju ke Bandara.
Pesawat kami
delay satu jam dan saya sangat menyesal karena seharusnya saya masih bisa
memanfaatkan satu jam yang terbuang ini untuk menciptakan kenangan-kenangan
lainnya. Pesawat kami lepas landas dan memandangi lampu-lampu kota Medan dari
langit, sedih rasanya dan aneh rasanya dua jam setelahnya saya sudah di
Ibukota, seperti terbangun dari mimpi dan 10 hari kemarin hanyalah mimpi.
Medan, kampung
halaman dimana hati saya selalu ingin berpulang kepangkuannya. Kota yang
membuat hati saya nyaman. Kota yang telah mengambil separuh hati saya dan tak
pernah mengembalikannya lagi. Medan, saya akan kembali untuk menaruh separuh
hati yang ada di saya untukmu. Saya akan tinggal. Medan, saya rindu.
No comments:
Post a Comment