Tuesday, March 10, 2015

Medan, Kampung Halaman Tempat Hati Selalu Ingin Berpulang.

Medan merupakan salah satu kota terbesar yang ada di Indonesia. Sudah sangat banyak yang terkenal dari kota Medan, mulai dari tempat wisatanya sampai terkenal dengan kulinernya. Selain itu, Medan selalu identik dengan orang batak. Padahal di kota Medan ini bukan hanya ada suku batak, melainkan terdapat suku-suku lainnya, sebagai contoh, di tempat nenek saya tinggal merupakan tempat yang mayoritas penduduknya berasal dari Tiongkok dan India. Kebetulan, saya merupakan keturunan Tiongkok (kata cina tak lagi diperbolehkan oleh pemerintah karena lebih mengarah kepada rasis) atau saya memang lebih suka disebut sebagai cina walau dua kata tersebut sama saja.

Petualangan atau saya lebih suka bilang ini sebagai pulang kampung dimulai pada 19 november 2014. Saat itu saya tidak sendiri, karena saya pergi dengan papa saya yang mana papa saya lah yang berasal dari Medan. Tiket sudah kami pegang jauh-jauh hari, apalagi kalau bukan demi tiket murah yang sebenarnya gak murah-murah juga tapi cukup lumayan murah (maunya apasih Wil...). Waktu itu kami memilih maskapai Citilink karena melalui pertimbangan kalau pilih maskapai sebelah yang punya warna merah dan simbol hewan itu takut kena delay hehehe.... (alasan pribadi sih itu sebenarnya).


Jadwal pesawat kami pukul 5.55 WIB, tapi berhubung keluarga saya ini adalah salah satu keluarga yang takut telat (padahal saya anaknya santai dan lebih suka berangkat mepet waktu), akhirnya kami pergi jam setengah tiga pagi. Iya, setengah tiga pagi. Gak ngerti deh kenapa mesti sepagi itu, kalau mau dibilang takut kena macet ya gak mungkin juga. Ya kali macet jam tiga pagi, itu sih udah amazing banget. Tapi apa daya, berangkatlah jam segitu dan alhasil sampai bandara cuma setengah jam dari rumah. Jam tiga pagi sudah di Bandara dan flight jam enam pagi. What the hell am I going to do gitu loh? Ya akhirnya cuma duduk-duduk manis di ruang tunggu dan jalan mondar-mandir sampai boarding.



Di pesawat kebetulan kedapatan duduk di kursi paling belakang, dan selama penerbangan cuma bisa lihat-lihat pemandangan di bawah dan komat-kamit tiap kali pesawat masuk awan. Gimana gak komat-kamit, I am the kind of person who afraids of higness gitu loh, jadi wajar kan. Akhirnya setelah dua jam di angkasa, mendarat di Bandara Kualanamu, Medan. Yang saya rasakan pertama kali melihat bandara ini adalah bagus bandaranya tapi kok ya kayanya panas banget ya kota Medan ini.




Di Bandara, kami dijemput saudara kami dan langsung naik Damri yang waktu itu jurusannya ke Simpang Limun. Tarifnya Cuma 15ribu per-orang. Damri yang saya tumpangi ini Cuma minibus, bukan bus besar yang dipakai di Jakarta. Setelah sampai di Simpang Limun, kami lanjut naik becak motor atau bentor. Karena tidak begitu jauh tujuannya,kami hanya bayar 10ribu saja tapi nyawa seperti digadaikan karena cara berkendaranya yang luar biasa bikin deg-degannya.

Rumah nenek saya di belakang Istana Maimun, jadi sesampainya di rumah nenek saya, saya langsung kabur ke Istana Maimun. Tiket masuknya hanya 5ribu, dan di dalamnya kalian bisa berkeliling  melihat-lihat peninggalan kesultanan deli ini, bahkan kalian bisa mencoba memakai pakaian tradisionalnya. Di sini juga terdapat sejumlah orang-orang yang memainkan musik tradisional. Selain itu, di sini juga terdapat sebuah meriam yang terkenal, meriam puntung yang menurut hikayat merupakan penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Deli Tua yang bernama Mambang Khayali yang berubah menjadi meriam dalam mempertahankan istana dari serbuan Raja Aceh yang ditolak pinangannya oleh Putri Hijau.



Dari Istana Maimun, saya melanjutkan jalan kaki saya ke Masjid Raya Medan, tapi sayangnya saya tidak bisa masuk karena untuk masuk kita harus berpakaian muslim dan saat itu saya sedang menggunakan kaos dan celana pendek selutut, jadi saya mengurungkan niat saya untuk masuk. Sehabis itu saya berjalan mengelilingi jalanan kota Medan dan akhirnya kembali ke rumah nenek saya. Saat di Medan, saya tidak tinggal serumah dengan papa saya dan saya memlih untuk tinggal di rumah tante saya yang tidak jauh dari rumah nenek saya, tepatnya di Kampung Baru. Dan di sanalah kenyamanan di kota ini dimulai.

Sesampainya di rumah tante saya, saya bertemu dengan sepupu saya yang sudah lama sekali tidak bertemu, karena kami terakhir kali bertemu saat saya masih bersekolah di sekolah dasar. Hampir 10 tahun kami tak bertemu dan kini dia sudah mempunyai anak dan lebih menyenangkannya lagi, saya dan sepupu kecil saya ini langsung akrab dan bermain bersama. Saya dan papa saya langsung pergi lagi ke tempat tante saya berjualan, dan tak jauh dari tempat tante saya berjualan, terdapat sekolah yang di depan gerbangnya banyak sekali penjual makanan dan saya pun langsung menghampirinya. Saya memilih bakso bakar khas Aceh dan abang penjualnya pun asli orang Aceh, ketika saya coba, ternyata rasanya enak sekali dan yang lebih penting lagi, ini murah. Saya pun membeli lagi dan kali ini mencoba membangun percakapan.
“Asli Aceh ya Bang?”
“Iya”
“Baksonya mangat that, Bang!”
“Wah mangat that!. bisa bahasa aceh?”
Bacut-bacut, Bang hehehe teurimong gunaseh beh Bang!”
Sebenarnya sih cuma iseng aja ngajak ngomong pakai bahasa aceh hahaha....

Keesokan harinya, saya diajak pergi jalan-jalan di kota Medan, dan kami mengunjungi Masjid Agung Sumatera Utara dan sehabis itu kami melipir ke SUN Plaza, salah satu mall yang cukup kecelah di Medan ini.


Di hari lainnya, saya mengunjungi Tjong A Fie Mansion, tiket masuknya sebesar 35ribu, saya masuk sendirian waktu itu dan ketika ditawari guide saya menolaknyam karena saya lebih suka berjalan sendiri. Ternyata berjalan sendiri di dalam tempat ini cukup bikin nyali saya ciut, selain karena sepi, di dalam ini juga cukup horror menurut saya, wewangiannya bikin saya gak nyaman dan akhirnya cepat-cepat keluar deh hehehe...


Keesokan harinya lagi saya berkunjung ke sebuah Vihara di komplek Cemara, namanya Vihara Meitraya, sekaligus mengantarkan papa saya beribadah. Di dalam vihara ini sungguh peaceful dan bikin kepengin berlama-lama di sini. Vihara ini boleh dikunjungi oleh siapa saja, dan sering jadi tempat rekreasi juga. Di luar Vihara saya mencoba es grim khas Medan, dimana es grim ini memakai roti dan diisi es grim rasa cokelat, alpukat dan jagung, harganya 10ribu saja. Kalau ke Medan jangan lupa mencoba mie soup, konon ini cuma ada di Medan dan rasanya enak sekali.




Beberapa hari setelahnya, saya diajak kuku (tante dalam bahasa mandarin) untuk berjalan-jalan ke Berastagi. Di tengah perjalanan, kami mengunjungi rumah Om saya yang punya kebun durian tetapi sayangnya kami datang di saat yang tidak tepat karena pohon duriannya sedang tidak berbuah. Akhirnya kami melanjutkan perjalananke Berastagi. Kurang lebih tiga jam kami melakukan perjalanan melalui jalan yang berkelok-kelok dan sampailah kami di Berastagi, dan kami segera ke Bukit Gundaling, dimana dari Bukit ini, kami bisa memandang langsung Gunung Sinabung yang sedang bergejolak dan tentunya memandang kota Berastagi dari ketinggian.



Dari Bukit Gundaling, kami mengunjungi Taman Alam Lumbini, di sini terdapat sebuah vihara yang berwarna emas yang terlihat sangat megah dan di sampingnya terdapat taman alam yang sangat indah dan asri. Masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya apapun dan tidak boleh merokok di tempat ini. Setelah dari sini, kami berbelanja buah di Pasar Berastagi. Yang membuat saya nyaman di Berastagi adalah udaranya yang sejuk.






10 hari di Medan sangat tidak cukup bagi saya, mungkin karena saya telah nyaman di kampung halamanku ini dan enggan pulang lagi ke Ibukota. Saya juga telah mengenal kawan-kawan baru dan sudah beradaptasi dengan lingkungan selama aku bertempat tinggal. Satu yang menurutku unik, karena walau sudah tengah malam, masih saja ada orang yang mengobrol dengan hampir berteriak, mungkin itu notasi bicara orang Medan ya hahaha... Dan semenjak di sana, saya pun berbicara dalam logat khas melayu.

Sehari sebelum kepulangan saya, saya diajak membeli oleh-oleh dengan saudara saya yang lainnya, namun sampai malam ia tak kunjung datang, dan tante saya sekeluarga berencana akan keluar makan malam bersama, namun tiba-tiba ia datang dan menghancurkan rencana kami, dan mau tidak mau saya harus ikut membeli oleh-oleh dengannya. Dan kami hanya pergi sebentar dan saya sedikit sedih karena sebenarnya saya lebih memilih untuk pergi makan malam bersama keluarga tante saya di mana saya menginap. Setelah itu, saya menghabiskan malam terakhir dengan berkumpul dengan kawan saya di Medan sampai larut di tengah udara yang sangat dingin dan berangin.

Hari kepulangan saya pun tiba, hari yang saya tak ingini adanya karena saya masih ingin berada di sini. Waktu perpisahan, setengah mati saya menahan tangis meski akhirnya tak lagi bisa saya bendung ketika di jalan menuju ke Bandara.

Pesawat kami delay satu jam dan saya sangat menyesal karena seharusnya saya masih bisa memanfaatkan satu jam yang terbuang ini untuk menciptakan kenangan-kenangan lainnya. Pesawat kami lepas landas dan memandangi lampu-lampu kota Medan dari langit, sedih rasanya dan aneh rasanya dua jam setelahnya saya sudah di Ibukota, seperti terbangun dari mimpi dan 10 hari kemarin hanyalah mimpi.


Medan, kampung halaman dimana hati saya selalu ingin berpulang kepangkuannya. Kota yang membuat hati saya nyaman. Kota yang telah mengambil separuh hati saya dan tak pernah mengembalikannya lagi. Medan, saya akan kembali untuk menaruh separuh hati yang ada di saya untukmu. Saya akan tinggal. Medan, saya rindu.

No comments:

Post a Comment