Friday, December 26, 2014

Menjejakkan Kaki Di Tanah Impian, Aceh.

Aceh, tepat pada tanggal 26 Desember 2004 silam terjadi peristiwa yang sangat mencengangkan yang tidak akan pernah terbayangkan di benak kita semua. Tsunami. Iya, Tsunami, banyak yang baru mengetahui apa itu tsunami setelah ini terjadi tahun 2004 silam. Dan tepat pada hari ini, 26 Desember 2014 merupakan peringatan 10 tahun tsunami Aceh dan saya akan membagi kisah ketika saya yang pada akhirnya bisa menjejakkan kaki di tanah impian saya, Aceh.

Perjalanan ke Aceh ini merupakan satu rangkaian perjalanan juga dengan perjalanan di kota Medan, yang nanti akan saya tulis juga. Perjalanan ke Aceh ini dimulai pada tanggal 25 November 2014. Memutuskan untuk memilih jalan darat untuk ke Aceh, saya membeli tiket bus tujuan Banda Aceh. Banyak sekali bus yang bisa dipilih untuk ke Banda Aceh, tapi saya memilih bus The Royal karena ingin merasakan bus ini (sebenernya karena ini adalah perusahaan teman saya). Bus-bus ke Banda Aceh bisa dibilang hampir semuanya cukup nyaman, jadi tidak perlu takut.

Berangkat pukul sembilan malam dan tepat pukul delapan pagi saya sampai di Terminal Batoh, Banda Aceh. Di sini saya dijemput teman saya yang saya kenal dari sosial media, Twitter. Aulya namanya.


Tujuan pertama kami adalah Masjid Raya Baiturrahman. Saya selalu penasaran akan masjid ini, dan saya begitu senang ketika akhirnya bisa menatap keindahan masjid ini secara langsung.






Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.


Tujuan kedua, saya diajak ke Masjid Baiturrahim di Ulee Lheue, Meuraksa. Sesampainya di masjid ini saya langsung mengambil gambar dan ada seorang bapak penjaga masjid ini memanggil saya dan mengajak masuk ke dalam masjid untuk melihat galeri. Di dalam masjid, ia bercerita dengan semangatnya saat kejadian tsunami 10 tahun silam. Bapak yang saya lupa untuk menanyakan namanya ini bercerita bahwa ia dan adiknya adalah korban selamat tsunami dan di masjid ini pula sang adik dari bapak ini selamat. Ketika tsunami menerjang, ia dan adiknya berpisah, sementara sang adik menyelamatkan diri di masjid ini, ia berlari sampai ke Masjid Raya Baiturrahman. Tinggi airnya 20 meter kata bapak itu, ia pun lari tak kenal sakit walaupun kakinya tertancap kayu saat lari karena ia tidak mengenakan alas kaki. Beruntung keduanya selamat.

Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Meuraksa. Bapak yang berdiri di depan masjid adalah bapak yang saya ceritakan.

Tak bisa berlama-lama di masjid ini, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Tsunami, melewati pelabuhan Ulee Lheue, saya bisa melihat pulau Weh dari sini. Tiba di Museum Tsunami, kami segera masuk ke dalam dan saya baru tahu juga kalau ternyata masuk museum ini tidak dipungut biaya sama sekali. Pertama kali masuk ke museum ini, kami langsung masuk ke dalam terowongan gelap yang di dindingnya mengalir air dan kami bisa merasakan percikan airnya dan mendengar suara-suara. Terowongan ini memang sengaja dibuat agar kita bisa merasakan bagaimana rasanya saat di dalam gelombang tsunami. Di tengah terowongan terdapat sumur doa, dimana di dalamnya terdapat nama-nama korban tsunami yang tersusun rapi di dindingnya.

Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh.

Sumur Doa, Museum Tsunami Aceh.

Setelah melewati terowongan yang jalannya memutar, kami melewati jembatan yang di atapnya terdapat bendera negara-negara yang membantu Aceh kala tsunami. Di museum ini, kami juga dapat melihat barang-barang sisa-sisa tsunami, seperti motor, sepeda bahkan helikopter sekalipun.








Kota Aceh sebelum tsunami.
Kota Aceh sesudah tsunami.

Setelah puas mengitari Museum Tsunami, kami melanjutkan perjalanan ke Kapal PLTD Apung yang terletak di Gampong Punge Blang Cut, Banda Aceh. Takjub, itu yang dirasa pertama kali melihat kapal sebesar ini bisa sampai di tempat yang jaraknya lumayan jauh dari laut. Saya pun mencoba naik ke bagian atas kapal. Tidak mudah dan cukup melelahkan karena harus menaiki tangga yang kecil-kecil dan tinggi, namun sesampainya di bagian paling atas kapal, hanya tahan nafas yang saya lakukan melihat pemandangan yang indah. Sungguh.




Monumen Tsunami, PLTD Apung, Banda Aceh.

Dari Kapal PLTD Apung, kami melanjutkan perjalanan ke Lampulo untuk melihat kapal nelayan yang berada di atas rumah, dan di lantai 2 rumah ini juga terdapat galeri yang menyuguhkan foto-foto tentang tsunami juga.





Tujuan kami selanjutnya adalah Pantai Lampuuk. Pantai ini adalah salah satu tempat yang sangat harus saya kunjungi karena ini sudah lama ada di bucket list saya. Terletak di Lhoknga, Aceh Besar, perjalanannya kurang lebih 30 menit dari pusat kota Banda Aceh. Selama perjalanan di sana, udara sejuk menemani saya dan pemandangan persawahan dan perbukitan yang hijau yang sangat menyegarkan mata.

Ada yang membuat saya kaget,yaitu ada banyaksapi yang tidak dikandangi dan dilepas begitu saja di jalanan, jadi jangan heran kalau nanti kalian akan menemukan banyak sapi yang bersantai di pinggir jalan, bahkan di tengah jalan seperti yang saya alami.

Sesampainya di Pantai Lampuuk, saya juga harus menahan nafas untuk yang kesekian kalinya karena pemandangannya. Saya merasa beruntung datang di hari biasa sehingga pantainya sangat sepi dan membuat saya merasa ini adalah pantai saya hahaha...

Pasir pantai yang halus, warna air laut yang biru, ah! Ini indah sekali, saya pun bersantai-santai di sini. Tak ingin pindah rasanya dari tempat ini.











Sepulang dari Pantai Lampuuk, saya menyambangi salah satu kedai kopi sambil menunggu waktu untuk kembali ke kota Medan. Iya, saya hanya sehari di kota Aceh ini. Tapi saya pasti akan kembali ke kota ini karena masih banyak tempat-tempat indah yang harus disambangi. Tanah impian ini masih banyak menyimpan rahasia-rahasia keindahan alam yang harus ditemukan. Aceh, Saya pasti kembali!

Oh iya, kalian sudah pernah ngopi di Aceh? Saya sudah pernah ngopi di Aceh dan kopi yang dipilih adalah kopi sanger :)


Kopi Sanger.

No comments:

Post a Comment